
Apakah Social Media Masih Punya Daya Pengaruh di Era Trust Deficit?
- Rinto Vigo Matheus Hardianto
- June 30, 2025
Beberapa tahun lalu, brand cukup membuat akun media sosial, posting rutin, dan sedikit beriklan—hasilnya terasa.
Tapi kini, engagement menurun, komentar dipenuhi skeptisisme, dan audiens semakin selektif terhadap siapa yang mereka percaya.
Kita sedang hidup di era trust deficit, krisis kepercayaan yang melanda media, influencer, bahkan brand.
Pertanyaannya: masihkah social media memiliki daya pengaruh yang nyata? Atau hanya menjadi panggung digital tanpa dampak?
Artikel ini akan membedah bagaimana perubahan psikologis audiens memengaruhi kekuatan sosial media, dan apa yang bisa dilakukan brand untuk tetap relevan dan dipercaya.
Trust deficit adalah kondisi ketika audiens meragukan niat di balik konten yang mereka konsumsi.
Di era banjir informasi, orang semakin sulit membedakan mana konten jujur, mana yang dibuat untuk sekadar menjual, menyesatkan, atau memanipulasi opini.
Di media sosial, hal ini diperparah oleh:
Banyaknya endorsement tidak transparan
Viral yang dibangun, bukan alami
Deepfake dan AI-generated content
Akun bot dan komentar palsu
✅ Hasilnya? Orang jadi apatis, skeptis, dan jauh lebih hati-hati saat berinteraksi dengan brand.
Menurut Edelman Trust Barometer, tingkat kepercayaan publik terhadap social media sebagai sumber informasi menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Platform seperti Facebook dan TikTok berada di posisi terendah dalam indeks kepercayaan global.
✅ Meski reach masih tinggi, engagement dan loyalitas pengguna makin rendah jika kontennya tidak bisa membangun kredibilitas.
Orang mungkin tidak lagi percaya iklan, tapi mereka masih percaya koneksi dan cerita.
Konten yang membangun hubungan emosional, berbicara seperti manusia (bukan brand), dan transparan tentang motivasinya akan menembus dinding trust deficit.
✅ Strategi: Gunakan pendekatan human-centered content dan storytelling berbasis realita, bukan sekadar kampanye.
Influencer besar dianggap terlalu “terjual”. Sebaliknya, micro-influencer dan konten buatan pelanggan (UGC) justru dianggap lebih jujur dan relatable.
✅ Optimalkan strategi social proof dan advocacy-based marketing, bukan sekadar mengandalkan iklan berbayar dan hard selling.
Audiens saat ini ingin bicara, bukan hanya diberi tahu.
Brand yang membalas komentar, membangun forum komunitas, atau live Q&A, memiliki peluang lebih besar untuk membangun kepercayaan.
✅ Gunakan fitur interaktif seperti Live, polling, Q&A, dan DM sebagai bagian dari strategi hubungan jangka panjang, bukan hanya aktivitas campaign.
Baca juga artikel kaim lainnya tentang: Contoh Strategi Digital Marketing yang Sukses di Indonesia
Di era trust deficit, social media tidak kehilangan daya pengaruhnya—tapi cara kerjanya berubah total.
Audiens tidak butuh konten yang sempurna, tapi konten yang bisa dipercaya.
Tidak perlu viral, yang penting bernilai dan terasa nyata.
Jadi, apakah social media masih efektif? Jawabannya: ya, jika kamu fokus membangun relasi, bukan sekadar jangkauan.
Hubungi tim Gleamore untuk audit strategi social media dan konten brand yang membangun kredibilitas.